Beberapa waktu yang lalu saya melakukan perjalanan ke lereng pegunungan Dieng di kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Sebelumnya saya membayangkan akan mendapat banyak obyek foto menarik dan alami dari Dieng yang terkenal dengan telaga Warna, Candi Arjuna dan bukit Si Kunir. Hujan mengguyur menemani perjalanan saya ke lereng Dieng. Kabut tebal menyelimuti sepanjang jalan, jarak pandang hanya sekitar 4 m, mobil hanya bisa berjalan pelan mengikuti garis batas jalan. Sabtu malam saya sampai juga di lokasi wisata Telaga Warna. Saya bersama teman-teman mulai mencari penginapan. Ditengah jalan tiba-tiba seorang pemuda menanyakan kepada kami, mau menginap di mana. Dia akhirnya menawarkan penginapan kepada saya. Selain homestay, rumah penduduk juga banyak ditawarkan untuk dijadikan tempat menginap. Tarifnya bervariasi antara 150- 350 ribu. Mereka juga menawarkan diri untuk penjadi pemandu. Setelah sepakat, kami menginap di rumah penduduk, sambil menunggu pagi. tujuan pertama saya untuk paginya adalah bukit Sikunir, untuk memotret sunrise dari balik gunung Sindoro Sumbing.
Subuh subuh kami sudah bergerak menuju perbukitan sikunir. rupanya tanjakannya terlalu terjal, membuat nafas saya terengah-engah. Pendakian akhirnya sampai juga ke puncak, ternyata disana sudah penuh oleh orang yang rupanya telah berkemah disitu dari semalam . Matahari yang saya tunggu-tunggu menutup diri dengan tirai awan.
Akhirnya kami hanya mendapat pemandangan pagi hari setelah matahari beranjak ke atas.
Hari makin terang, saya dan teman teman turun untuk melihat-lihat pemandangan sekitar bukit. Saya cukup terkejut melihat pemandangan alam disekitar bukit. Saya tidak melihat ada kumpulan hutan lebat penjaga ekosistem. Sampah sampah bekas orang berkemah yang "lupa" dibersihkan menambah penderitaan bukit Sikunir.
Sepanjang mata saya melihat, hanya hamparan kebun kentang yang luas. rupanya lereng-lereng bukit telah berubah menjadi bukit kentang. Mereka panen 4 bulan sekali. Jadi dalam setahun mereka bisa panen 3 kali. Saya coba melihat lebih dekat, para petani itu menggunakan pupuk kotoran ayam dan pupuk pabrik serta pestisida untuk menghindari hama. Saya tidak menemukan lahan kentang yang benar-benar organik. Saya jadi bertanya- tanya sampai kapan lahan ini akan bertahan? Kesuburan tanah akan segera habis, hasil panen jadi tidak maksimal. Belum lagi efek hutan yang gundul, sungguh memprihatinkan. Selain kentang, oleh-oleh khas Dieng adalah buah Carica, buah mirip pepaya yang tidak bisa besar. Carica diolah menjadi manisan dan dijual sekitar 10 ribu rupiah/ botol.
Matahari mulai menyengat, saya turun kearah telaga warna, lagi- lagi saya kaget. Di depan mata saya melihat telaga yang seharusnya tenang asri dan alami, sudah di jadikan tempak bermain flying fox. Benar-benar mengganggu pemandangan. Seharusnya pengelola membuat arena tersendiri yang tidak merusak pemandangan bagi wisatawan. Saya benar benar protes flying fox diatas danau. Kenapa merusak pemandangan bagus dengan permainan konyol itu???
Saya hanya mengitari telaga saja.
Cuaca yang cepat berubah menjadi mendung dan hujan membuat perjalanan saya menjadi lebih singkat. Saya sempatkan mampir di komplek candi Arjuna. Saya juga tidak kalah terbelalak, banyak pedangang asongan, pengamen, tenda orang jualan mengurangi keindahan candi yang terkenal itu. Kemana pengelola?
Mereka para pedagang seharusnya diberikan tempat tersendiri. Belum lagi para seniman wayang yang duduk-duduk di candi,sambil merokok. Seolah olah mereka penguasa candi, orangpun enggan untuk mendekat. Saya menunggu sampai kondisi candi sedikit sepi untuk dapat memotret.
Gerimis tiba, dan saya masih belum dapat foto yang saya inginkan. Semoga Dieng kedepannya menjadi tempat wisata Favorit tidak hanya di Indonesia saja tapi juga terkenal sampai ke penjuru dunia. Tentunya dengan pengelolaan yang profesional.
Salam
Yamtono Sardi
Subuh subuh kami sudah bergerak menuju perbukitan sikunir. rupanya tanjakannya terlalu terjal, membuat nafas saya terengah-engah. Pendakian akhirnya sampai juga ke puncak, ternyata disana sudah penuh oleh orang yang rupanya telah berkemah disitu dari semalam . Matahari yang saya tunggu-tunggu menutup diri dengan tirai awan.
Akhirnya kami hanya mendapat pemandangan pagi hari setelah matahari beranjak ke atas.
Hari makin terang, saya dan teman teman turun untuk melihat-lihat pemandangan sekitar bukit. Saya cukup terkejut melihat pemandangan alam disekitar bukit. Saya tidak melihat ada kumpulan hutan lebat penjaga ekosistem. Sampah sampah bekas orang berkemah yang "lupa" dibersihkan menambah penderitaan bukit Sikunir.
Sepanjang mata saya melihat, hanya hamparan kebun kentang yang luas. rupanya lereng-lereng bukit telah berubah menjadi bukit kentang. Mereka panen 4 bulan sekali. Jadi dalam setahun mereka bisa panen 3 kali. Saya coba melihat lebih dekat, para petani itu menggunakan pupuk kotoran ayam dan pupuk pabrik serta pestisida untuk menghindari hama. Saya tidak menemukan lahan kentang yang benar-benar organik. Saya jadi bertanya- tanya sampai kapan lahan ini akan bertahan? Kesuburan tanah akan segera habis, hasil panen jadi tidak maksimal. Belum lagi efek hutan yang gundul, sungguh memprihatinkan. Selain kentang, oleh-oleh khas Dieng adalah buah Carica, buah mirip pepaya yang tidak bisa besar. Carica diolah menjadi manisan dan dijual sekitar 10 ribu rupiah/ botol.
Matahari mulai menyengat, saya turun kearah telaga warna, lagi- lagi saya kaget. Di depan mata saya melihat telaga yang seharusnya tenang asri dan alami, sudah di jadikan tempak bermain flying fox. Benar-benar mengganggu pemandangan. Seharusnya pengelola membuat arena tersendiri yang tidak merusak pemandangan bagi wisatawan. Saya benar benar protes flying fox diatas danau. Kenapa merusak pemandangan bagus dengan permainan konyol itu???
Saya hanya mengitari telaga saja.
Cuaca yang cepat berubah menjadi mendung dan hujan membuat perjalanan saya menjadi lebih singkat. Saya sempatkan mampir di komplek candi Arjuna. Saya juga tidak kalah terbelalak, banyak pedangang asongan, pengamen, tenda orang jualan mengurangi keindahan candi yang terkenal itu. Kemana pengelola?
Mereka para pedagang seharusnya diberikan tempat tersendiri. Belum lagi para seniman wayang yang duduk-duduk di candi,sambil merokok. Seolah olah mereka penguasa candi, orangpun enggan untuk mendekat. Saya menunggu sampai kondisi candi sedikit sepi untuk dapat memotret.
Gerimis tiba, dan saya masih belum dapat foto yang saya inginkan. Semoga Dieng kedepannya menjadi tempat wisata Favorit tidak hanya di Indonesia saja tapi juga terkenal sampai ke penjuru dunia. Tentunya dengan pengelolaan yang profesional.
Salam
Yamtono Sardi